Hai hai, selamat pagi kawan!
Siapa nih yang mau jadi penulis?
Faktanya, profesi penulis semakin banyak peminatnya lho. Kenapa coba? Ya salah satunya biar bisa curhat lewat tulisan. Eh salah, maksudnya biar memiliki jejak sejarah ketika kita sudah tak ada lagi di dunia ini. Ya, kan? Bukan? Iya sih setiap orang memang memiliki tujuan dan niat beda-beda pastinya. Namun yang pasti tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali tulisanmu! Maksudnya tulisan atau ilmu yang kita bukukan atau tuliskan akan tetap abadi kemanfaatannya bahkan ketika kita sudah tak ada lagi di dunia ini. Lihat saja para ilmuwan muslim yang sudah berabad-abad lamanya tak ada di dunia ini, tapi tetap abadi dalam setiap tulisannya Makanya kalau nulis harus yang bermanfaat ya, karena akan dibaca banyak orang dan tentu saja akan dimintai pertanggungjawabannya kelak (ingat, ingat Yeti!)
Betewe, serius lo, penulis kini kian membanjir. Semua berlomba untuk menghasilkan karyanya. Sebenarnya bak angin segar sih, banyak orang ingin membukukan buah pikirannya. Artinya dunia literasi Indonesia akan semakin ramai. Tetapi eh tetapi, tak semua orang cukup berani untuk ambil resiko apapun dalam prosesnya. Masih ada yang sebetulnya tulisannya bagus, namun malu-malu atau bingung bin galau untuk memublikasikannya. Sebagaimana kita ketahui, menulis tak semudah yang dibayangkan. Kalau cuma curhat sih gampang ya, tetapi menulis lebih dari sekedar curhat pastinya. Ada banyak hal menyangkut teknis dan lain-lain yang harus diperhatikan penulis agar tulisannnya ciamik dan diminati.
Menjadi penulis pemula sangat tidak mudah (saya merasakannya) hihihi...ada banyak kekhawatiran yang menyergap akan tulisan kita itu. Ada rasa malu, takut, minder dan perasaan lainnya saat pertama kali membuat karya. Namun seiring waktu perasaan itu alhamdulillah sedikit demi sedikit terkikis, menghilang dan mulai pede.
Berikut saya tuturkan beberapa ketakutan penulis pemula berdasarkan yang saya alami tentunya ya.
Baca juga : 5 Tips Sukses Memenangkan Lomba Menulis
1. Takut salah dan diketawain senior
Dahulu saya pun pernah berada di titik ini. Saya takut salah, saya takut diketawain bahkan dibully oleh senior. Saya malu karya saya dibaca orang lain. Namun dengan tekad kuat saya memutuskan tetap berjalan meskipun pelan. Saya tetap menulis meskipun bisa dibilang jauh dari kata bagus jika dibandingkan teman seangkatan saya. Dengan modal minim ilmu, minim bacaan, saya terus mencoba, tentu saja juga mulai membiasakan baca. Saya paham itu adalah proses, saya tahu segala sesuatu harus berproses agar hasilnya bagus (tidak mudah goyah dan lembek). Tidak bisa instant, langsung bisa bagus, tidak. Saya harus banyak melakukan kesalahan, saya harus salah dulu agar tahu yang benar seperti apa. Saya harus berpayah-payah dulu, agar kelak bisa bersenang-senang.
2. Takut diremehkan hingga takut dibenci senior
Ini juga kadang menjadi pertimbangan penulis pemula. Mereka takut hasil diremehkan, karyanya dicibir, disepelekan bahkan dibilang sampah! Aku mah apa atuh? Hanya serpihan rengginang bau di ujung toples! Hihihi... Ada yang begitu? banyak. Malu memublikasikan karya, takut ini takut itu. Ada lagi yang takut jika melampaui seniornya. Menahan diri untuk tidak berkembang karena takut melebihi prestasi senior. Why? Bukankah senior akan senang dan bahagia melihat juniornya bahagia dan sukses? Alhamdulillah sih senior saya mah mendukung banget, nggak ada yang julid, semuanya positif. Tetapi mungkin di tempat lain masih ada yang begitu (cerita teman sih :)).
3. Takut ditolak penerbit
Ada yang takut ditolak penerbit? Ada dong. Dia selalu saja ragu jika mau kirim naskah, tidak percaya diri karena begini dan begitu. Padahal jika kamu mau ambil resiko, pasti jatah ditolakmu akhirnya akan habis dengan sendirinya. Dan tibalah kamu di fase diterima dan diterbitkan! Kirimkan saja, masalah ditolak atau di terima itu urusan belakangan. Setelah usaha maksimal, kirimkan dan berdoa yang terbaik bagi karya kita itu.
Ingat, tak selalu apa yang kita anggap baik itu memang baik menurut Tuhan.
4. Takut menuliskan genre tertentu
Ada yang idealis tak mau menulis genre tertentu? Ada. Bahkan ada juga yang katanya tidak mau nulis novel genre fantasi misalnya. Ada. Tidak mengapa sih kalau menurut saya. Hanya saja mungkin ketika genre idealmu tak disukai penerbit manapun itu yang harus kamu terima. Karena penerbit juga menyesuaikan selera pasar, jika naskahmu tidak sesuai maka ya harus terima resiko.
5. Takut dikritik!
Ada ya penulis yang takut dikritik pedas? Ada. Bahkan ada yang sampai membenci si Pengkritik. Padahal eh padahal, mestinya kamu bersyukur dan berterima kasih jika ada yang mengkritik apalagi misalnya penulis yang tak diragukan lagi kecakapannya. Dengan kritik, itu artinya kamu dikasih tahu dimana letak salahmu. Jangan bahagia ketika bertemu teman yang apabila disuruh baca karya kita, dia jawab bagus-bagus doang. Antara malas berpikir, tidak peduli, sungkan atau tidak paham itu. Hehe...
Tetapi saya sih masih suka mereka yang mengkritik tidak di depan umum. Kalau di di kelas training sih ya wajar, karena sedang belajar dan semua diharapkan belajar dari kritik tersebut. Namun jika mengkritik di medsos hingga dibeberkan kekurangannya, apa itu tidak malah membunuh semangat di penulis? Syukur-syukur jika penulisnya tebal muka, nah kalau penulisnya baperan pasti akan sangat down bahkan mungkin trauma. Ya, meskipun kataya jadi penulis itu jangan baperan, tapi jika segitunya kan tetap masuk di hati. Ya, kan?
Nah, ada banyak ketakutan yang akhirnya membuatmu tak berkembang. Kamu pernah takut yang mana nih? Untuk jadi penulis tentu saja dituntut keberanian agar karyanya bisa dibaca dan dinikmati para pembaca. Bukankah itu tujuan kita jadi penulis? Tulisan kita dibaca dan dinikmati orang? Jika malu dan masih takut, ya siap-siap saja jalan di tempat. Kamu nggak balakan kemana-mana, Gaess!
EmoticonEmoticon