Pic by Canva |
Halo,
selamat pagi…
Siapa
yang sudah menikmati lezatnya uang hasil royalti penjualan buku atau jual putus
naskah? Ya itulah bagian terlezat dari proses penulisan buku. Hilang sudah rasa
lelah karena dikejar deadline, karena revisi ini dan itu, lelah menunggu
jadwal terbit, ketika mendapatkan hasil jerih payah dengan jumlah yang lumayan.
Banyak lo teman-teman saya terutama penulis buku anak yang mendapatkan
penghasilan yang lebih dari cukup dari menulis buku.
Apa
sih royalti?
Mungkin
bagi yang awam ada yang bertanya seperti itu. Royalti itu uang hasil penjualan
buku selama kurun waktu tertentu. Jadi, penulis nulis buku, lalu dikirim ke
penerbit, kalau acc, maka penerbit akan menerbitkan bukunya. Penulis pastiya akan
dibayar dalam bentuk royalti atau beli putus.
Untuk
royalti, biasanya bagian penulis hanya sekitar 5-10 % saja dari harga jual per
bukunya. Dibayar enam bulan sekali. Kok kecil ya prosentase untuk penulis? Ya itu
memang standarnya untuk penulis di Indonesia. 5% itu untuk penulis buku anak
karena harus bekerjasama dengan illustrator yang gambarin buku agar makin keceh
dan dibeli ibu-ibu. Walau hanya 5%, tapi jika terjual 10.000 eksempler kan lumayan.
Makanya, agar penulis makin semangat dan terus berkarya, belilah bukunya jangan
minta ya, walau pun itu temanmu. Karena penulis mendapatkan keuntungannya nggak
banyak, apalagi jika tidak ada yang beli, bisa-bisa gigit jari dia.
Baca juga :
Baca juga :
Nulis itu jangan hitung-hitungan uangnya, yang penting manfaatnya, Bu.
Benar
banget itu. Tapi tak dipungkiri saya salah satu penulis buku anak yang memang
mengharapkan ada penghasilan dari hobi saya itu. Dan menurut saya sah-sah saja,
halal. Perkara itu bermanfaat, sudah sangat jelas pasti bermanfaat, Namanya juga
buku pastinya ada manfaatnya jika dibaca, kecuali jadi pajangan rak buku saja,
sudah pasti hanya bermanfaat sebagai pencitraan doang wkwk.
Nah,
dalam praktik dunia buku dan penerbit, ada dua macam cara pembayaran penerbit terkait
naskah penulis yang akan diterbitkan. Ada penerbit yang menggunakan cara
pembayaran royalti dan ada pula yang lebih suka dengan sistem beli putus. Apa perbedaannya?
Yang mana yang lebih menguntungkan?
1.
Sistem royalti
Seperti yang sudah saya
bahas di atas, system pembayaran royalti di lakukan secara berkala, ada yang
tiga bulan sekali dan ada yang enam bulan sekali. Tapi yang umum adalah enam
bulan sekali. Besarnya tergantung jumlah buku yang terjual di pasaran.
Dalam praktiknya, ada
penerbit yang mengenakan system depe di depan ada yang tidak. Penerbit yang
memberikan depe di depan, Ketika enam bulan kemudian (masa pembayaran royalti)
besarnya jumlah uang royalty akan dikurangi depe yang sudah diberikan di awal.
Keuntungannya bagi penulis adalah, penulis mendapatkan uang depe Ketika buku
terbit. Itu sangat menyenangkan bagi saya ketimbang menunggu hingga enam bulan
lamanya setelah terbit. Bagi penerbit yang tidak memberlakukan system depe,
penulis tinggal tunggu saja selama enam bulan lamanya setelah buku terbit. Selagi
menunggu, segeralah nulis lagi dan kirim hingga royaltimu nantinya makin besar
karena hasil penjualan dari beberapa buku.
2.
Beli putus
Kalau beli putus, biasanya
penerbit membeli naskah kita sekaligus di awal. Berapa pun kelak penjualan bukunya,
penulis tidak punya hak apa-apa lagi. Kecuali, penulis mau menjual bukunya. Biasanya,
penerbit memberikan diskon khusus penulis 30-40% dari harga buku. Nah, jika
kalian pinter marketing atau jualan, tentu akan mendapatkan keuntungan yang
lumayan juga.
Besarnya uang beli putus,
tiap penerbit beda-beda. Tergantung penerbitnya. Kalau pengalaman saya, ada
penerbit yang memberikan hanya 1,3 juta saja untuk 10 judul cernak (kumpulan
cerita), ada juga yang memberikan 1,5 per judul untuk buku berseri (ada 10
judul). Ada juga penerbit yang menghitungnya berdasarkan jumlah karakter/huruf.
Semuanya penerbit yang menentukan, jika penulis sepakat, lanjut. Jika tidak,
boleh menolak atau nego kok. Penulis
juga memiliki hak sama dengan penerbit jika tidak cocok.
Apa
sih kelebihan dan kekurangan dua system pembayaran itu?
Sistem
royalti jelas memberikan keuntungan jangka panjang. Artinya sampai kapanpun,
jika buku masih ada yang beli, penulis masih dapat keuntungan. Nah, ini yang
sering membuat penulis lebih suka memakai sistem royalti. Tapi walau begitu, jangan
dikira akan laku terus ya, karena semakin banyak buku baru bermunculan,
persaingan pun kian ketat. Faktor lain juga adalah waktu mejeng di toko bukunya
kadang hanya sebentar, kecuali untuk buku yang memang best seller sejak
awal. Makanya, menurut para senior, 3 bulan pertama sejak buku lahir/terbit,
adalah kesempatan penulis untuk mempromosikan bukunya agar hasilnya penjualannya
bagus.
Sebaliknya
sistem beli putus ya putus, sudah di awal saja. Jika pun buku laku banyak,
penulis tidak mendapatkan apa-apa lagi. Tetapi, pengalaman saya ada penerbit
yang memberikan bonus tambahan untuk penulis ketika buku laku 5000 eks lebih
dan berlaku kelipatannya.
Bagaimana
cara memaksimalkan pendapatan hasil dari penjualan buku?
Ada
berbagai tipe penulis buku. Ada yang menyerahkan sepenuhnya penjualan ke toko
buku, ada yang berusaha menjualnya bahkan sangat berhasil. Penulis yang menjual
bukunya sendiri, setidaknya harus memiliki bekal strategi penjualan terutama lewat
online jika ingin maksimal. Semakin banyak buku terjual, semakin besar jumlah royalti
yang akan didapatkannya nanti. Makanya jangan bosan lihat teman jualan bukunya
ya, mbok yo beli gitu lo biar temannya senang hihi.
Untuk
penulis yang takdir bukunya dibeli putus, jangan putus asa, Gaes. Saya tahu rasanya
kok. Makanya Ketika bukunya terbit, saya upayakan untuk menjual bukunya,
lumayan lo diskonnya gede. Pengalaman saya saat menjual buku paket Masterkids :
Meneladani Sifat Dan Karakter Rasulullah, saya bisa menjual puluan paket, bahkan
hampir 100 paket. Harga sepaket Masterkids adalah 279.000 diskon penulis 40%. Monggo
dihitung sendiri, alhamdulillah bisa buat beli sembako di musim pandemic corona
ini hehe.
Buku paket Masterkids : Meneladani Sifat dan Karakter Rasulullah karya saya |
Iya
benar, kuncinya tetap ada di penulisnya sendiri. Mau sistem royalti atau beli
putus, jika penulisnya pandai menjual atau sudah punya fansbase, pasti
akan tetap menguntungkan kok. So, jangan sedih jika mendapatkan takdir
naskahnya dibeli putus, tak selamanya mendung itu kelabu, Gaes (hadeuh ini lagu
zaman purba wkwk). Yang jelas, selain menulis buku, penulis juga dituntut untuk
mampu menjual bukunya jika ingin laris manis. Untuk bisa menjual bukunya,
penulis juga harus belajar strategi jualan yang baik. Banyak kok tutorilnya di
yutub, di google atau pun di buku-buku panduan/pengalaman sukses orang lain. So,
mari terus belajar. Karena kesuksesan katanya tak akan menghianati usaha.
Ah,
saya mah nulis hanya hobi kok, bukan mengincar uangnya. Jadi santai saja mau
laku atau enggak. Ya monggo, boleh saja. Nggak ada yang larang. Tapi apa nggak
kasihan ke penerbit yang sudah merogoh modal untuk menerbitkan buku kamu? Untuk
bayar listrik, bayar editor, bayar layouter, bayar OB, bayar satpam dan karyawan
lainnya. Setidaknya bantu dengan mempromosikan bukunya sendiri ya.
Nah,
itu ulasan saya tentang pembayaran royalti atau beli putus berdasarkan pengalaman
saya yang masih seuprit ini. Terima kasih sudah membaca, jika ada yang salah, tolong
beritahu saya ya. Tetap jaga Kesehatan, tetap di rumah saja, agar penyebaran
virus korona tidak perlu menyebar luas lagi. Salam sayang dari kota Mojokerto.
19
April 2020
EmoticonEmoticon