Alhamdulillah … syukur tak terkira atas semua hal yang Allah beri. Akhirnya kami akan tiba di ulang tahun ke-16 pernikahan kami, bulan April 2022 (telat posting ini, jauh banget telatnya hihi). Enam belas tahun lalu, masih sangat jelas tergambar di depan mata. Saya kira tak satu pun manusia yang akan melupakan momentum bahagia sekaligus haru itu. Momen saat “dengan beraninya” (sombong memang gadis ini mah waktu itu teh, hiih..!) memutuskan melepas masa lajang dan memilih pasangan untuk menjalani takdir hidup selanjutnya.
Flashback dikit ya biar seru hehe… Saya dulu tidak pacaran dengan suami saya (percaya nggak ya?), tetapi bukan taaruf juga. Terjadi begitu cepat dan langsung dibawa pergi. Keluarga waktu itu bahkan sudah memiliki pasangan terbaik versi mereka untuk saya. “Dengan beraninya” (sekali lagi), sang gadis membawa sendiri calon pasangan hidupnya. Dengan banyak pertimbangan, dan si versi keluarga pun belum juga menunjukkan itikad baik, ya sudah orang tua menerima yang duluan melamar. Melamar ya, bukan omongan doang. Sabdanya, “barangsiapa yang melamar langsung, niscaya akan mendapatkan keputusan cepat. Pilihannya hanya dua kok : Diterima atau tidak.” Riwayat saya bukan hadis ya, hihi.
Saking niatnya nih suami saya, setelah lamaran (desember tahun 2005) hanya menyisakan beberapa bulan langsung menikah. Bahkan saya pun tak sempat membaui harumnya bangku kantoran (sampai sekarang penasaran baunya kaya apa? Tolong jelaskan ya), karena pas wisuda dilamar (gercep ceritanya), beberapa bulan kemudian kami menikah (antara gercep dan udah nggak kuat hahaha). “Parahnya”, saya yang tak pernah merantau, langsung dibawa pergi merantau dan membina biduk pernikahan dari nol (blas nggak punya apa-apa). Rasanya bagaimana? Ya campur aduk, ada bahagia, sedih, bahkan kecewa karena langsung jauh dari keluarga, saudara bahkan sahabat. Cukup tidak mudah bagi saya beradaptasi di lingkungan baru, gadis polos sendirian, karena suami kerja berangkat pagi pulang malam. Semuanya langsung praktik, tak ada teori atau pendahuluannya hehe..
Merantau tanpa pengalaman dan bahkan hanya seorang gadis yang masih sangat polos, tentu bukan perkara mudah. Sempat terpikirkan untuk tinggal di kota orang tua dan LDR dengan suami, tapi ternyata tak bisa dan tidak nyaman. Sebagaimana sabda Bapakku, “jika sudah menikah, kamu harus ikut suami kemana pun dia pergi, walau pun ke lubang semut sekali pun.” Duh ini teh sabda yang berat, secara saya kan udah melebar Pak, masa iya bisa masuk lubang semut?. Tapi akhirnya bersyukur pernah diberi wejangan itu oleh almarhum Bapakku. Menjalani kehidupan rumah tangga bersama suami jika memungkinkan jelas pilihan terbaik dibanding LDR. Catat ya, jika memungkinkan, karena bagi saya yang belum kerja itu mungkin sekali.
Lika liku pernikahan, naik turun, masalah demi masalah silih berganti, dan itu sepertinya bakalan terus berlanjut. Karena katanya jika datar saja tak menarik dan pasti membosankan. Kita harus merasakan sedih agar dapat merasakan senang. Kita harus merasakan miskin agar tahu nikmatnya punya banyak harta. Rumah tangga memang adalah salah satu Lembaga untuk belajar dan terus bertumbuh. Awal dari sebuah perjuangan baru bersama pasangan untuk mendapatkan ridho-Nya. Maka katanya juga, janganlah kamu salah dalam memilih pasangan, karena itu fatal akibatnya. Lebih baik menunggu lama untuk mendapatkan pasangan yang baik, dari pada menikah dengan terburu-buru dengan lelaki yang salah. Apalagi menikah karena tuntutan orang tua, tuntutan lingkungan, karena usia, karena tetangga ngomong terus, karena seluruh teman satu angkatan sekolah udah punya anak semua, dll, jangan karena itu dong. Karena menikah itu sekali seumur hidup dan kamu akan menghabiskan hidupmu dengan suamimu. Bayangkan jika suamimu ternyata brengsek, mau ya hidup selamanya dengan suami brengksek? Nauzubillah ya.
Benar memang dengan ungkapan bahwa suami yang baik untuk istri yang baik. Calon pasanganmu adalah cerminan diri kamu. Maka, perbaiki dirimu dulu, pantaskan untuk mendapatkan suami yang keren segalanya (iman, amal dan kekayaannya). Perempuan sangat boleh memilih suami yang mapan materinya, karena perempuan mana yang tidak mau hidup berkecukupan, mapan secara materi? Nggak ada, semua perempuan jika bisa mendapatkan suami bukan saja mapan sikapnya, ketaqwaannya dan lebih penting mapan juga uangnya. Minimal memiliki pekerjaan lah ya, tidak pemalas dengan jadi pengangguran. Karena anak orang butuh makan, cinta kan nggak bikin kenyang. Apalagi jika ada tambahan good looking, wes ta lah sikat! Becanda ini ya, tapi jika mau dianggap benar juga nggak apa-apa.
Jika bisa (harus ding), sebelum menikah Mbak-mbak/teteh-teteh tanyakan beberapa hal ini kepada calon suamimu ya, agar lebih mantap untuk melangkah :
1. Jika kamu sudah bekerja, apakah masih boleh tetap bekerja setelah menikah? Dan, jika pekerjaan kamu pulangnya larut, suami nggak apa-apa?
2. Kamu mau nggak berbagi pekerjaan rumah (beberes, cuci-cuci, dll)?
3. Apakah gaji suami akan dikasih istri semua untuk dikelola? Atau istri hanya diberikan uang belanja, sisanya diatur suami?
4. Kalau penghasilanmu lebih besar dari suami, suami minder nggak?
5. Calon suami bersediakah membuat keputusan bersama atas diri kamu, atau malah suami akan membuat keputusan sendiri atas kamu?
6. Suami mau punya anak berapa? Jika misalnya (pahitnya) nggak bisa punya anak, apa yang akan dilakukan? Adopsi, bayi tabung atau menikah lagi?
7. Setelah menikah kamu tetap boleh main sama sahabt-sahabatmu atau tidak?
8. Sehabis nikah mau tinggal dimana? Rumah ortu atau ngontrak? Syukur-syukur kalau punya rumah sendiri.
9. Boleh nggak kamu biayain anggota keluarga seperti orangtua, adik atau keponakan?
Walau pun saya sendiri tak bertanya apa pun waktu itu pada calon suamiku, karena belum tahu. Ribet amat, mau nikah aja banyak pertanyaan. Hahaha memang, nikah kan memang kadang ribet kalau nggak ya ribut. Pilihannya itu : mau ribet dulu atau ribut nantinya. Sebenarnya agar nantinya enak, walau sering terjadi suaminya pura-pura lupa. Makanya pembicaraan seperti ini perlu diulang ketika sudah menikah, agar tidak lupa.
Belum cukup panjang memang rentang usia pernikahan saya untuk dapat memberikan sedikit nasihat atau berbagi pengalaman dalam berumah tangga. Tetapi, biarkan saya berbagi sedikit saja pengalaman ya. Awal menikah itu adalah masa adaptasi, saling mengenal lebih dalam kepribadian, kebiasaan termasuk mengenal bagian tertutup fisik masing-masing. Masalah yang timbul biasanya soal tempat tinggal, pakai KB atau tidak, istri bekerja atau tidak apalagi jika langsung hamil. Masalah lainnya adalah kesulitan adaptasi, lingkungan sosial, keuangan keluarga, kalau merantau seperti saya ya sedih jauh dari orang tua, saudara bahkan sahabat. Dalam setiap rumah tangga saya pikir istri lebih cenderung banyak memikirkan banyak hal ketimbang suami. Mungkin karena istri itu dianugerahi perasaan yang lebih halus dan peka sehingga mampu memikirkan banyak hal. Tapi mungkin tak semua seperti itu juga ya.
Karena saya merantau, jadi pengalaman yang saya bagikan seputar pernikahan yang merantau, jauh dari orang tua dan mertua. Hal paling penting bagi kalian yang menikah terus jauh dari keluarga dan gadis polos macam saya, adalah harus pandai menitipkan diri. Tetangga adalah saudara terdekat. Jika bisa aktiflah di organisasi setempat semacam RT, Ibu Kader, dan lain-lain. Karena itu cukup membantu saat kita butuh bantuan dan sebagai tempat bersosialisasi yang positif. Agar tak kesepian juga, bisa ikutan komunitas-komunitas positif yang diadakan oleh ibu-ibu di sekolah anak kita jika sudah punya anak. Atau bisa juga ikut majelis taklim setempat, agar relasinya makin banyak, otomatis nantinya banyak sahabat baru. Bagi yang introvert, diusahakan tetap bersosialisasi walau tak terlalu intens. Kita tahu sendiri lah ya, apa yang nyaman dan tak nyaman buat diri sendiri. Lewat perkumpulan-perkumpulan itulah kita akan tahu tentang informasi sekolah yang baik, tempat belanja murah, tempat gym yang tertutup, tempat renang yang nyaman, dan lain-lain.
Bisa juga lo ikut berbagai komunitas pengembangan diri, semacam belajar berenang, bela diri, parenting, mengaji, menjahit, menghias, dan lain-lain. Atau jika mau lanjut kuliah bahkan mencari pekerjaan juga boleh. Jika belum punya anak daripada melamun terus, bisa banget kuliah apalagi kerja. Saya dulu juga sempat kerja sebagai pengajar di salah satu STIKES di kota setempat. Alhamdulillah ijasahnya sedikit kepakai, eh ilmunya maksudnya. Lalu saya pun sempat ambil S2 dari sekolah tersebut hingga kemudian suami mengajak pindah kota (dipindah kantor). Saya sih kerja dan kuliahnya setelah punya anak pertama, karena waktu itu langsung hamil. Gadis polos melahirkan dan mengurus anak itu rasanya gimana gitu ya hahaha… manis asem asin ramai rasanya. Walau akhirnya, memutuskan berhenti ngajar juga karena kasihan anak (ini sih ibu-ibu banget ya) haha.. dan saya termasuk ibu yang tak tegaan. Selalu salut saya pada ibu-ibu yang bisa terus berkarir dengan meninggalkan anak di rumah. Pinter dan tangguh banget.
Kuliah tinggi-tinggi tapi hanya jadi IRT katanya … ucapan ini sudah jadi makanan saya setiap waktu sih. Awalnya ya kesal banget, tapi ya kan nggak bisa nyumpel mulut orang, bisanya ya menata hati dan pikiran diri sendiri. Ya pada akhirnya sudah biasa aja sih orang ngomong begitu sampai akhirnya sangat nyaman di dunia ibu rumah tangga (mengurus semua-muanya sendiri).
Mungkin suatu waktu akan bertemu perasaan muak, capek, bosan, itu sangat wajar ya. Untuk kamu yang saat itu berada di fase capek, muak lihat keadaan/bahkan suami, bosan dengan keseharian itu-itu saja, saya pun pernah mengalaminya. Mungkin yang ada di pikiran adalah menyalahkan keadaan. Menyalahkan suami, menyalahkan Tuhan bahkan. Sebel, kesel, ingin kabur dari rumah, pernah banget saya alami. Beruntung lebih tepatnya qodarullah, sebelum menikah saya setidaknya baca buku persiapan pernikahan. Tidak banyak yang diingat, hanya satu kalimat dan entah siapa itu penulisnya. “Bagaimana pun keadaannya, kapal harus terus berlayar.” Itu! Siapa pun penulisnya, terima kasih banyak ya. Saya tetap ada di sini untuk melanjutkan pencarian ridho Allah serta keberkahan-Nya hingga nanti tiba hari tutup usia dalam keadaan terbaik, insya Allah.
Mungkin juga suatu hari kamu berada di fase merasa kesepian, sendirian, rindu canda tawa bersama teman, ih itu sih aku banget ahahaha. Apalagi rindu menjadi kecil lagi, jadi remaja lagi hahaha itu sih hanya bagian dari proses menuju kedewasaaan saya pikir. Jadi nikmati saja, ciptakan bahagimu sendiri. Sejak awal menikah jangan terlalu berharap pada manusia termasuk suami, karena dia juga tak sempurna bahkan banyak sekali kekurangannya. Niatkan menikah untuk mengharap ridha Allah, mencari keberkahan-Nya, mencari surga-Nya. Jadi bagaimana pun keadaan suami (selama tak menyimpang dari ajaran agama) kita terima dan syukuri.
Jika sebal ke suami, karena menurut kita dia tak bisa menjadi suami dan ayah yang baik, cobalah bersabar. Coba juga kurangi untuk mencari tahu tentang suami ideal, membandingkan dengan suami orang, itu akan membuat kita makin tersiksa. Jika bisa dikomunikasin, ya dibicarakan, walau pun by wa misalnya karena komunikasi belum terjalin dengan baik atau suami terlalu sibuk bekerja. Memang bagi yang bersuamikan pekerja/karyawan swasta sudah menjadi rahasia umum kalau suami lebih sering di kantor daripada di rumah. Pulang dalam keadaan capek jiwa raga, boro-boro bisa bantuin istri mengurus anak, inginnya istirahat. Maka disitulah sering terjadi perbedaan tujuan suami di rumah, istri pas suami pulang senang karena ada yang mau bantuin. Suami pas pulang senang karena waktunya istirahat. Hehe … Maka dari itu, pernikahan itu adalah tentang sabar dan ikhlas, serta tawakal. Jangan lupa istri juga punya senjata sakti, doa.
Hikmah merantau sangat banyak ternyata. Lebih struggle yang pasti dan banyak saudara baru. Lebih mau belajar banyak hal dan mandiri tentunya.
Duh sebenarnya banyak hal yang mau saya sampaikan. Banyak banget, bahkan sampai berharap bisa membuat komik rumah tangga. Insya Allah. Doakan saya dan suami semoga tetap bisa menjadi partner yang baik, yang saling menyayangi, saling mendukung, saling mendoakan, dan lebih baik lagi secara pribadi dalam segala hal, aamiin.
EmoticonEmoticon